Rabu, 04 April 2012

Jurnal Lentera


PENDEKATAN COOPERATIVE LEARNING DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR KIMIA PADA KONSEP TATA NAMA SENYAWA DAN PERSAMAAN REAKSI SEDERHANA
(Suatu Peneilitian Pada Siswa SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh)

Sri Rahayu Retno Wulan         
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Al-Muslim
ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian untuk mendapatkan gambaran mengenai perbedaan prestasi belajar siswa pada konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana antara proses pembelajaran dengan metode konvensional dan proses pembelajaran melalui pendekatan Cooperative Learning pada siswa kelas I SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas I SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh secara keseluruhan, sedangkan sebagai sampel penelitian adlaah kelas I3 yang dipilih secara random. Untuk mengetahui perbedaan prestasi antara kedua perlakuan dilakukan tes. Data yang diperoleh dilakukan uji terhadap hipotesis yang diajukan dengan menggunakan rumus t. hasil uji hipotesis pada taraf signifikan = 0,05 dan dk = 64 ternyata nilai thitung berada pada daerah penerimaan Ho karena thitung < ttabel yaitu thitung = 1,76 ttabel = 2,00 ; yang berarti hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ditolak. Hasil penelitian disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa antara proses pembelajaran dengan metode konvensional dan proses pembelajaran melalui pendekatan Cooperative Learning pada siswa di SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh.


I.        PENDAHULUAN
Salah satu penyebab menurunnya kualitas manusia Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan dapat diartikan sebagai kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari siswa sendiri, guru maupun sarana dan prasana. Minat dan motivasi siswa yang kurang, kinerja guru yang rendah serta sarana dan prasarana yang kurang memadai akan menyebabkan menurunnya prestasi belajar dan keefektifan proses pembelajaran (Supraptama, 2001).
Proses pembelajaran yang kurang efektif pada mata pelajaran kimia dapat menambah jadwal siswa yang kurang berminat belajar kimia. Minat siswa yang kurang tersebut tampak antara lain dari kurangnya aktivitas belajar, interaksi dalam proses pembelajaran dan persiapan siswa dalam belajar.
Guru sangat berperan dalam upaya meningkatkan minat dan prestasi belajar siswa. Guru yang mampu mengusahakan suasana pembelajaran yang kondusif akan menambah percaya diri serta mengembangkan daya kreativitas dan inovasi siswa, sehingga dapat meningkatkan minat belajar siswa. Untuk itulah dalam proses pembelajaran kimia harus disediakan serangkaian pengalaman belajar berupa kegiatan nyata yang bermakna bagi siswa dan memungkinkan terjadinya interaksi sosial. Dengan kata lain siswa terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, sehingga mereka berusaha membangun makna bagi dirinya sendiri (Supraptama, 2001).
Berdasarkan observasi dan diskusi dengan beberapa orang guru kimia, diketahui beberapa penyebab rendahnya minat dan prestasi siswa pada pelajaran kimia tersebut yaitu antara lain: (1) guru kurang memotivasi siswa, (2) guru masih menggunakan metode mengajar yang konvensional, sehingga menimbulkan rasa bosan pada diri siswa (3), tidak ada variasi dan inovasi dalam mengajar yang berdampak pada pasifnya siswa, (4) bahasa dan sistematika mengajar sulit/kurang dimengerti oleh siswa.
Setiap lembaga pendidikan yang tumbuh dengan sengaja dalam suatu masyarakat atau negara biasanya mempunyai metode pembelajaran tersendiri. Belajar merupakan proses dari perkembangan hidup seseorang di mana pengetahuan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap seseorang terbentuk dan berkembang disebabkan oleh kegiatan belajar. Oleh karena itu seseorang dikatakan belajar apabila pada dirinya terjadi suatu proses kegiatan yang disertai dengan usaha orang itu sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku. Semua aktivitas dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Dengan demikian belajar akan menyangkut proses belajar dan hasil belajar.
Belajar menurut Slameto (1988:2) adalah “merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru”, secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Selanjutnya Sardiman (1986:23) mengemukakan bahwa :”belajar berarti usaha untuk mengubah tingkah laku”. Jadi belajar akan membawa suatu perubahan pada diri individu-individu yang belajar. Perubahan it tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk percakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak dan penyesuaian diri. Jelasnya menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang.
Dalyono (1997:49) memberikan pengertian belajar adalah “suatu usaha perbuatan yang dilakukan secara sungguh-sungguh dengan sistematis dan mendayagunakan segala potensi yang dimiliki, baik fisik, mental serta panca indera, otak serta anggota tubuh lainnya”. Demikian pula aspek-aspek kejiwaan seperti intelegensi, bakat, minat, dan sebagainya. Jadi belajar dapat disimpulkan sebagai suatu proses yang terjadi pada diri setiap orang sehingga adanya perubahan tingkah laku.
Untuk mencapai hasil belajar, sebenarnya secara individu kemampuan para siswa berbeda-beda. Ada yang memerlukan keterlibatan dalam jangka waktu yang singkat untuk mencapai prestasinya. Prestasi yang dicapai siswa sering berubah-ubah, karena dalam belajar itu banyak faktor yang berperan. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia adalah hasil belajar.
Proses belajar mengajar yang telah digunakan selama puluhan tahun di sekolah-sekolah adalah proses belajar yang selalu berfokus pada guru. Guru memegang kunci keberhasilan belajar siswa. Pelaksanaan sistem belajar yang terfokus pada guru ini menjadi efektif dan efisien. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya adalah kecenderungan terjadinya varbalisme, ketidakpastian siswa dalam mengikuti pelajaran, kurangnya minat, kegairahan siswa, pasifnya situasi belajar dan faktor lainnya.
Dalam hal ini dapat dikatakan dengan adanya tugas pra pembelajaran yang diberikan pada siswa maka siswa dapat mengukur sendiri prestasinya sehingga nantinya dalam proses belajar mengajar yang sesungguhnya siswa yang bersangkutan dapat mengikuti pembelajaran dengan lebih baik dan diharapkan hasilnya juga lebih baik pula.
Belajar kimia sering menjadi momok bagi banyak anak didik. Mereka pada umumnya menganggap bahwa mata pelajaran kimia adalah mata pelajaran yang sulit, yang hanya dikuasai oleh mereka yang pandai saja. Belajar kimia memerlukan bahasa ilmu tersendiri, sehingga untuk mempelajari kimia bahasa yang digunakan adalah rumus-rumus dan teori atau dalil-dalil. Belajar kimia juga memerlukan kemahiran berbicara dalam bahasa kimia.
Pada dasarnya belajar kimia tidak jauh berbeda dengan belajar ilmu pengetahuan lainnya. Usaha belajar yang baik menurut Soejanto (1990:72) harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
a.        Belajar harus dengan rencana yang teratur;
b.        Belajar harus dengan disiplin diri;
c.         Belajar harus dengan minat atau perhatian;
d.        Belajar harus dengan pengertian; dan
e.         Belajar harus dengan tujuan yang jelas.
Tujuan pendidikan harus disesuaikan dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Pengertian kurikulum tidak hanya menyangkut dengan usaha-usaha pengajaran di sekolah saja, tetapi juga termasuk usaha-usaha luar sekolah yang dapat dipakai untuk mempengaruhi kelakuan siswa ke arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran, menyangkut tentang pengertian kurikulum dalam arti yang luas seperti ini, Team pembina Mata Kuliah Didaktik/Kurikulum IKIP Surabaya (1989:103) mengatakan “segala usaha sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar di dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luarnya atau segala kegiatan di bawah tanggung jawab sekolah yang mempengaruhi siswa dalam pendidikannya”.
Sistem intruksional mencakup tujuan pengajaran, materi pelajaran, evaluasi, penggunaan metode, sumber bahan pelajaran, alat yang digunakan dalam penyajian materi dan waktu yang tersedia dalam setiap kali pertemuan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sistem pengajaran adalah merupakan satu kesatuan yang terorganisir. Komponen-komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya dalam rangka tujuan pengajaran yang diinginkan. Pada kondisi ini diutamakan bagaimana caranya komponen-komponen sistem pengajaran dimaksud, dikaitkan dan dipadukan dalam suatu kesatuan sehingga dicapai tujuan tertentu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rooijakkers (1992:xviii) bahwa “tujuan tiap pengajaran adalah menimbulkan atau menyempurnakan pola laku dan membina kebiasaan, sehingga siswa terampil menjawab tantangan situasi hidup secara manusiawi”. Pendapat lain yang mengemukan tentang tujuan pengajaran adalah tujuan pendidikan yang terdiri dari tiga bagian yang dipecah lagi, dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Menurut Nasution (1986:61) pembagian itu adalah sebagai berikut :
1.       Bidang kognitif yaitu meliputi pengetahuan, pengertian, aplikasi, analisis, sistematis dan evaluasi.
2.       Bidang efektif yaitu meliputi sikap dan nilai-nilai, minat dan apresiasi.
3.       Bidang psikomotoris yang meliputi keterampilan, kemampuan serta kebiasaan fisik mental.
Bertitik tolak dari tujuan pengajaran tersebut maka yang menjadi tujuan pengajaran kimia pada SMA menurut Kamajaya dan Linggih (1988:1) adalah “menurut para siswa untuk memahami konsep-konsep, hukum-hukum dan aturan-aturan yang tedapat dalam teori”. Hal ini berarti siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah atau logis, teliti, cermat, bersikap hati-hati dan jujur. Semua sikap ini dapat tumbuh dan berkembang dari seseorang siswa dengan dasar bakat yang dimilikinya serta yang dituntut atau yang diharapkan dari kurikulum.
 Banyak tantangan dalam mengajarkan kimia, ada kalanya berhasil, gagal dan ada kalanya mendapat dorongan atau hambatan. Kesulitan dan kepuasan itu antara lain timbul dari bahan ajar, siswa dan suasana kelas. Untuk dapat mnencapai tujuan itu maka peranan guru kimia sengatlah diperlukan dan oleh karena itu seorang guru kimia haruslah mempersiapkan diri sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar kimia dapat berlangsung dengan baik.
Seorang guru seharusnya menguasi teori belajar mengajar dengan baik, kerena salah satu faktor pendukung berhasil tidaknya pengajaran kimia adalah jika guru menguasai teori belajar mengajar  dengan menguasai teori belajar mengajar ini maka guru  lebih tau begaimana mengajarkan ilmu kimia dengan tepat, sehingga diharapkan para siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik bahkan dengan menguasai teori belajar ini diharapkan guru dapat memotivasi siswa untuk berminat pada ilmu kimia.
Kimia di SMA merupakan pengantar sains dan teknologi, sekaligus mengantarkan kimia pada struktur ilmunya. Kimia di SMA memberikan landasan melalui pengetahuan dan prosesnya untuk mempelajari kimia di tingkat yang lebih tinggi dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Guru yang berhasil dan mampu meningkatkan minat dan prestasi belajar siswa (kimia) adalah guru yang “ power with”  dan “ power for” terhadap siswa, bukan guru yang “power on” atau “power off” (Yones, dalam Borgia & Schuler, 2003). Guru yang “power with”  akan terbentuk jika guru senantiasa bekerja bersama dengan siswa, sedangkan guru yang  “power for”  digambarkan sebagai guru bekerja untuk kepentingan proses belajar siswa. Guru yang  “power with” dan “power for”  selalu
berusaha menyediakan kegiatan-kegiatan yang relevan, membimbing, mengarahkan serta memotivasi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sedangkan guru yang  “power on”  digambarkan sebagai guru yang selalu di atas siswa, sehingga tidak memandang siswa sebagai individu yang mempunyai potensi. Adapun guru yang “ power off” digambarkan sebagai guru yang tidak mau membantu siswa dalam proses pembelajaran.
Sebagai konsekuensi logis dari uraian di atas maka proses pembelajaran kimia di SMA diusahakan agar tidak verbalistik. Dalam proses pembelajaran peran guru sebaiknya bergeser dari informasi (penyajian informasi) ke fasilitator dan motivator. Guru pun harus mampu mengusahakan terciptanya suasana belajar yang konduktif, sehingga siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri. Dalam perencanaan proses pembelajaran guru mempertimbangkan pengembangan kreativitas dan berpikir kritis siswa, mendorong siswa berinteraksi dengan guru maupun siswa lain, serta menerapkan teknik bertanya yang dapat mengembangkan penalaran siswa.
Salah satu kriteria proses pembelajaran yang efektif adalah kejelasan dalam tujuan. Kejelasan dalam tujuan di sini berarti bahwa siswa mengetahui tujuan yang akan diperoleh setelah belajar sehingga siswa diharapkan lebih tertarik pada pelajaran kimia dan akhirnya minatnya semakin tinggi.
Dalam proses pembelajaran, jika guru melibatkan siswa dalam kegiatan nyata, kemudian mendorong siswa merefleksikan hasilnya pada kehidupan sehari-hari, maka hasil pembelajaran kimia diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses, sikap, kreativitas dan kemampuan aplikasi konsep (Huew, 1994).
Jika semua aktivitas guru tersebut di atas dapat terlaksana secara teratur maka siswa akan lebih menyenangi kimia yang akhirnya keinginan belajar dan prestasi belajarnya akan meningkat.
Menurut Davidson dan Worsham (dalam Supraptama, 2001), cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang sistematis dengan mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif dalam mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis. Dengan kata lain cooperative learning adalah kegiatan belajar mengajar dengan cara membuat kelompok-kelompok kecil dalam belajar dan bekerja sama untuk sampai kepada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok.
Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa, tetapi siswa dapat juga saling mengajar dengan sesama (peer teaching) dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative learning (Lie, 2002).

II.      METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh, yang dilaksanakan mulai bulan September sampai dengan bulan Oktober 2004.
Populasi pada penelitian ini adalah murid kelas I SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh yang berjumlah 5 kelas. Sedangkan sebagai sampel adalah siswa kelas I2 dan I3 SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh yang terpilih secara acak, dimana kelas I2 dijadikan kelas kontrol (proses pembelajaran dilakukan secara konvensional) dan kelas I3 sebagai kelas eksperimen (proses pembelajaran dengan pendekatan Cooperative Learning) pada konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana.
Data pada penelitian ini diperoleh melalui pengamatan scara langsung terhadap objek yang diteliti, kemudian untuk mendapatkan data lebih lanjut peneliti akan mengajarkan konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana pada kelas kontrol dan pada kelas eksperimen. Pada kelas kontrol proses pembalajaran dilakukan secara konvensional dan pada kelas eksperimen dilakukan pendekatan Cooperative Learning. Setelah proses pembelajaran selesai dilakukan selanjutnya dilakukan evaluasi berupa tes tertulis. Data nilai tes inilah yang diolah secara statistika untuk mengetahui bagaimana kondisi dari kedua kelas yang diteliti dan kemudian dibandingkan antara keduanya.
Hasil tes dari kelas kontrol dan kelas eksperimen selanjutnya diolah dengan statistik untuk melihat apakah ada terjadi peningkatan kualitas hasil belajar kimia melalui pendekatan Cooperative Learning pada konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana, khususnya pada siswa kelompok eksperimen. Untuk mengetahuinya maka pada penelitian ini dilakukan analisis statistika uji-t. Adapun Rumus yang digunakan adalah : (Sudjana;1989). a. Untuk data yang telah disusun dalam daftar ditribusi frekuensi, menurut Sudjana (1989:70) rata-ratanya dihitung dengan rumus : . b. Untuk menghitung varians (s) menurut Sudjana (1989:95) dapat digunakan rumus : . c. Kemudian untuk mencari varians gabungan menurut Sudjana (1989:239) dapat digunakan rumus : . d. Untuk menguji homogen varians, menurut Sudjana (1989:249) digunakan rumus :

III.   HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil tes yang dilakukan pada siswa kelas kontrol (diberi simbol X) dan kelas eksperimen (diberi simbol Y) diperoleh data seperti pada tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1. Nilai tes siswa kelas kontrol (X) dan kelas eksperimen(Y)
No
Kelas Kontrol (X)
Kelas Eksperimen (Y)
Kode Samp-el
Nilai Tes
Kode Sampel
Nilai Tes
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1.        
X-1
30
Y-1
70
2.        
X-2
35
Y-2
63
3.        
X-3
50
Y-3
43
4.        
X-4
80
Y-4
54
5.        
X-5
20
Y-5
25
6.        
X-6
60
Y-6
57
7.        
X-7
33
Y-7
70
8.        
X-8
40
Y-8
23
9.        
X-9
80
Y-9
20
10.     
X-10
45
Y-10
40
11.     
X-11
57
Y-11
23
12.     
X-12
20
Y-12
55
13.     
X-13
30
Y-13
40
14.     
X-14
40
Y-14
40
15.     
X-15
20
Y-15
70
16.     
X-16
50
Y-16
42
17.     
X-17
20
Y-17
60
18.     
X-18
40
Y-18
65
19.     
X-19
62
Y-19
75
20.     
X-20
62
Y-20
55
21.     
X-21
70
Y-21
20
22.     
X-22
60
Y-22
23
23.     
X-23
20
Y-23
77
24.     
X-24
77
Y-24
65
25.     
X-25
30
Y-25
95
26.     
X-26
50
Y-26
95
27.     
X-27
30
Y-27
75
28.     
X-28
45
Y-28
77
29.     
X-29
50
Y-29
23
30.     
X-30
60
Y-30
40
31.     
X-31
20
Y-31
45
32.     
X-32
80
Y-32
80
33.     
X-33
75
Y-33
75

S X
514
S Y
665

Data dari kelas kontrol dan kelas eksperimen terlebih dahulu ditabulasi ke dalam distribusi frekuensi. Untuk membuat daftar distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama, Sudjana (1989:47) mengemukakan langkah-langkah yang harus ditempuh sebagai berikut : - Tentukan rentang (R), ialah data terbesar dikurangi dengan data yang terkecil, - Tentukan banyak kelas interval (k) dengan menggunakan aturan Sturges yaitu : k = 1 + (3,3) log n, - Tentukan panjang kelas interval P dengan rumus P = rentang dibagi dengan banyak kelas, - Pilihan ujung bawah kelas pertama. Untuk ini bisa diambil sama dengan data terkecil atau nilai yang lebih kecil dari data terkecil tetapi selisihnya harus dari panjang kelas yang telah ditentukan.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka diperoleh harga-harga untuk kelas kontrol sebagai berikut : R = data terbesar – data terkecil = 80 – 20 = 60, k = 1 + (3,3) log n = 6,011 (dalam hal ini diambil k = 7), P = Rentang/banyak kelas = 60/7 = 8,571 (diambil P = 9).
Sedangkan untuk kelas eksperimen dengan cara perhitungan yang sama diperoleh harga-harga sebagai berikut : R = 75, k = 7, dan P = 11.
Pengujian hipotesis pada penelitian ini dilakukan untuk uji dua ekor pada taraf signifikan s = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n1 + n2 – 2) dengan kriteria pengujian : terima Ho jika t < t1-s dan tolak Hapabila t mempunyai harga-harga lain.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh harga  thirung = 1,76 sedangkan harga ttabel = 2,00. Ternyata harga thitung berada pada daerah penerimaan Ho, dengan demikian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini (H1) ditolak pada taraf signifikan s = 0,05. Hal ini berarti prestasi belajar siswa antara yang diajarkan melalui pendekatan Cooperative Learning adalah sama dengan yang diajarkan melalui metode konvensional, atau dengan kata lain tidak ada perbedaan prestasi siswa pada konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana antara kedua perlakuan.
Berdasarkan hasil analisis data secara statistik dengan menggunakan uji t pada taraf nyata atau taraf signifikan = 0,05 untuk uji dua ekor, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa kelas I SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh pada konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana antara yang diajarkan secara konvensional dengan siswa yang diajarkan melalui pendekatan Cooperative Learning. Dengan kata lain tidak terjadi peningkatan prestasi belajar pada siswa yang pada proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan Cooperative Learning.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan melalui pendekatan Cooperative Learning belum dapat meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya pada konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana. Hal ini mengidinkasikan bahwa tidak selalu adanya perubahan pola atau pendekatan dalam proses pembelajaran diikuti dengan perbaikan mutu atau prestasi yang dicapai siswa, tanpa adanya sosialisasi dan persiapan yang matang, apabila perubahan pola yang dilakukan pada sekolah-sekolah yang agak kurang kreatif siswanya.
Tidak terjadinya peningkatan prestasi belajar siswa antara proses pembelajaran secara konvensional dan dengan pendekatan Cooperative Learning sesuai hasil penelitian ini, diduga akibat beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal diduga hanya sebagian kecil siswa yang sungguh-sungguh mau berpartisipasi dalam kelompoknya dan mau kreatif, sedangkan yang lainnya kemungkinan tidak bisa bekerjasama dalam kelompok dan tidak mau pula kreatif. Hal ini didukung dari fakta observasi yang penulis amati disaat proses pembelajaran berlangsung. Faktor internal lain diduga banyak siswa yang kurang berminat mengikuti pelajaran kimia, hal ini terlihat ketika proses pembelajaran berlangsung, khusus pada kelompok yang dilakukan pendekatan Cooperative Learning banyak siswa yang acuh tak acuh dalam kelompoknya dan tidak sedikit hanya ngobrol sesama teman.
Sementara itu dari faktor eksternal bisa terjadi akibat guru yang biasa mengajar jarang melakukan variasi-variasi dalam metode maupun pendekatan dalam proses pembelajaran. Artinya selama ini guru selalu mendominasi dalam proses transfer pengetahuan, siswa selalu terbiasa sebatas menerima apa yang diberikan guru tanpa mau kreatif menggali pengetahuan melalui kerjasama dalam kelompok.
Padahal melalui pendekatan Cooperative Learning, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa, tetapi siswa dapat juga saling mengajar dengan sesama (peer teaching), dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur sangat perlu diterapkan, walaupun pada penelitian ini belum terjadinya peningkatan prestasi.
Adapun kesan dan anggapan bahwa pelajaran kimia itu sukar, sangatlah tergantung kepada jalannya proses pembelajaran, persiapan mengajar, serta metode mengajar yang digunakan oleh guru. Oleh sebab itu, persiapan mengajar adalah suatu hal yang tidak boleh diabaikan begitu saja bagi seorang guru. Segala kesukaran pada umumnya dapat diatasi jika persiapan mengajar dan metode atau pendekatan mengajar telah dipersiapkan dengan secermat-cermatnya.

IV.    SIMPULAN DAN SARAN
A.      Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data secara statistika, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa kelas 1 SMA Negeri 4 Paya Peunaga Meulaboh pada konsep tata nama senyawa dan persamaan reaksi sederhana antara siswa yang diajarkan dengan metode konvensional dan yang diajarkan melalui pendekatan cooperative learning.

B.      Saran
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1.       Perlu penelitian lanjutan tentang proses pembelajaran melalui pendekatan cooperative learning ini dengan memperhatikan faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa.
2.       Diharapkan kepada guru bidang studi kimia khususnya agar dapat terus mengembangkan dan mempersiapkan beberapa hal yang mendukung pelaksanaan proses pembelajaran melalui pendekatan cooperative learning, karena dengan diberlakukannya kurikulum KBK pendekatan ini telah teruji keungggulannya dibandingkan dengan metode-metode mengajar konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous (1990). Didaktik/Kurikulum, Diktat, IKIP Surabaya.
Anshory, I. (1994). Kimia Untuk SMU Kelas I,Erlangga, Jakarta.
Arikunto, S. (1988). Prosedur Penilaian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.
Block, P. Warren, H. Powell, dan W. Conard Fernelius (1990). Inorganic Chemical Nomenclatur Principles and Practice, ACS Professional Reference Book, Washington.
Borgin, E.T. & D. Schuler (2003). Action Research in Early Childhood Education, (online) (http://www.ericfacility.net/ericdigestests/ed401047.html.) Diakses 16 April 2003.
Dalyono, M. (1997). Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
Debdikbud (1994). Kurikulum Sekolah Menengah, Debdikbud, Jakarta.
Huew (1994), Modern Teaching Learning Approach. Singapore: John Wiley & Sons.
Kumalawati, E. dan Budiman, A.N. (1985). Tata Nama Senyawa Organik, Angkasa, Bandung.
Lie, Anita (2002). Cooperative Learning, Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang kelas, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Nasution, S. (1986). Didaktik Azas-Azas Mengajar, Jemmars, Bandung.
Rooijakkers, A.D. (1992). Mengajar dan Sukses, Terjemahan Soenoro, Grasindo, Jakarta.
Sardiman, A.M. (1986). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali, Jakarta.
Slameto (1988). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Bina Aksara, Jakarta.
Soejanto (1990). Strategi Belajar Mengajar, Depdiknas, Jakarta.
Sudjana (1992). Metode Statistik, Tarsito, Bandung.
Supraptama (2001). Pelangi Pendidikan, Vol. 4 No. 2 Tahun 2001.
Usman, M.U (1995). Menjadi Guru Profesional, Rosdakarya, Bandung.

               
               
               
               














Tidak ada komentar:

Posting Komentar